JNE, Ruang, Peluang, dan Takdir Tuhan

29 Mei 2024, 22:34 WIB
Firgiawan Ahmad Aprian sedang melayani costumer yang igin mengirim paketnya. /Muallifah S. Madani

KABARMEGAPOLITAN.COM - Abang-abang pengantar paket JNE lalu lalang mengambil bungkusan-bungkusan paket dalam bentuk beragam. Ada persegi panjang. Kubus. Bulat. Besar. Kecil. 

Barang-barang itu berada di dalam gudang dan ruang administrasi JNE cabang Ciputat Timur, Tangerang Selatan. 

Di sisi lain, orang-orang sekitar berdatangan satu persatu, lalu pergi, datang lagi, dan sepi, begitu seterusnya. 

Baca Juga: TRENDING! Netizen +62 Dilema, Gelengan Kepala Pegi Penuh Tanda Tanya

Mereka membawa bungkusan warna hitam dengan tempelan kertas putih yang tertera alamat di dalamnya. Kemungkinan besar paketan untuk pembelinya, tetapi tak sedikit juga yang hanya mengirimkan kepada teman dan handai taulan yang ada di kampungnya. Sesuai dengan kebutuhan. 

Namun ketika matahari mulai turun ke peraduannya, lambat laun aktivitas di kantor mungil JNE yang berada tak jauh dari pertigaan jalan W.R. Supratman, Kampung Utan itu mulai beranjak sepi, yang datang seorang, dua orang, dan bahkan tidak ada sama sekali. 

Firgiawan Ahmad Aprian sedang melaksanakan pekerjaannya sebagai bagian administrasi JNE cabang Ciputan Timur, Tangerang Selatan. Muallifah S. Madani

Ketika tidak ada customer, Firgiawan Ahmad Aprian istirahat sejenak untuk meredakan lelahnya. Ia cukup menonton video-video favorit dan bercengkrama santai tapi asik bersama rekan-rekan kerjanya. 

Sebab selelah apapun dalam profesinya saat ini, sebagai administrasi JNE merupakan pilihannya. Tak ada paksaan dan campur tangan dari siapapun, apalagi kedua orang tuanya.

Pilihannya ini berangkat dari keresahan yang dirasakan ketika melihat pemuda-pemuda sekitar seusianya, duduk-duduk di tongkrongan berfoya-foya, menghambur-hamburkan uang orang tua, dan ngobrol tanpa batas waktu.

Rasa sedih menyelinap di lubuk hatinya hingga suatu hari ada suara yang berbisik kepada dirinya, "Daripada saya seperti itu dan punya keinginan untuk membeli sesuatu di luar kebutuhan, ya saya harus bekerja, biar bebas (tidak membani) buat dapetin itu, tidak membebani orang tua."

Namun JNE bukan pelabuhan pertama pilihan pemuda yang akrab disapa Wawan itu. Sebelumnya, ia sempat bekerja di Coffee Shop tetapi kelelahan melanda fisiknya karena ia mendapat shift malam dengan waktu kerja hingga pukul, 02.00 WIB. 

Dia sadar, dirinya tidak mampu menjalani pekerjaan itu, sebab ia juga sedang kuliah di salah satu Perguruan Tinggi di Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan. 

Akhirnya, mahasiswa yang sudah berada di semester 7 itu memutuskan berhenti karena memberatkan fisiknya. 

"Pagi kuliah, malam kerja. Jadi udah capek otak, ya capek fisik juga," ujar Wawan saat diwawancarai ke kantornya, Rabu, 29 Mei 2024.

Walaupun sebenarnya, ia telah memikirkannya dengan matang resiko dari keputusannya itu.

Hari berganti, tak lama setelah melepas pekerjaannya, mahasiswa yang mengambil jurusan manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) itu ditawarkan salah seorang temannya untuk bekerja di JNE bagian administrasi. 

Tanpa berpikir panjang, Wawan mengiyakan tawaran itu. Baginya tawaran tersebut adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan.

Suatu siang, ia diminta untuk datang ke kantor pusat JNE untuk tes wawancara, hatinya berdegup kencang dan muncul berbagai pertanyaan dalam pikirannya. 

Namun tak berselang lama setelah wawancara itu, ia dinyatakan lolos dan bisa segera mulai bekerja.

Wawan senang bukan kepalang, apalagi setelah diberitahu bahwa dirinya akan ditempatkan di kantor cabang JNE tak jauh dari rumahnya. 

Tak berselang lama, keresahan tiba-tiba muncul dalam hatinya terkait waktu. Ia khawatir tidak bisa disesuaikan dengan jam kuliahnya. 

Ia pun memutuskan untuk membicarakan hal itu kepada Bosnya. Namun tanpa disangka, jam kerjanya bisa disesuaikan. Kebahagiaannya bertambah berkali-kali lipat. 

Namun saat mulai bekerja, kesulitan mulai menghantuinya. Sebab ia terkendala untuk mengikuti training bagian administrasi ketika itu. 

Meski demikian, Wawan tak kehabisan akal dan tak ingin menjadi orang yang tersesat di jalan.

Ia meminta tolong kepada teman kerjanya yang senior untuk mengajarinya. Selepas itu, ia belajar secara mandir. seiring berjalannya waktu tantangan itu dapat diatasi.

Akhirnya, perasan keringat membuahkan hasil. Rasa bangga menyelinap dalam dirinya bahkan kedua orang tuanya. Sebab dari gajinya perbulan itu, ia dapat menutupi pembayaran-pembayaran perkuliahannya, walaupun belum bisa seutuhnya. ***

Editor: Bondan Kartiko Kurniawan

Sumber: Firgiawan Ahmad Aprian

Tags

Terkini

Terpopuler