Surat Raden Ajeng Kartini, Jeritan Hati Wanita yang Terpenjara

- 20 April 2022, 06:57 WIB
 RA Kartini /made blog.com/
RA Kartini /made blog.com/ /

KABARMEGAPOLITAN.com – Raden Ajeng Kartini merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir.

Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903.

Anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904.

Baca Juga: Ini Dia, Jalur Alternaif yang Bisa Digunakan Pemudik Tujuan Jateng dan Jatim via Selatan Jawa

Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Selain mendirikan sekolah Kartini juga mengirimkan surat-surat kepada kenalan dan sahabatnya yang kebanyakan berada di Belanda.

Berikut ini adalah isi surat R.A Kartini untuk Stella Zeehandelaar.

“Saya sulung dari tiga anak perempuan Bupati Jepara yang belum menikah, dan saya memiliki enam saudara-saudari. Dunia apa ini, eh? Kakek saya, Pangeran Ario Tjondronegoro dari Demak, seorang pemimpin besar dalam gerakan progresif di era beliau, dan bupati pertama dari Jawa tengah yang membuka pintu kepada tamu dari seberang laut – peradaban dunia barat. Semua anaknya memiliki pendidikan Eropa; mereka semua memilikinya. Semua cinta terhadap kemajuan, cinta yang diwariskan ayah mereka, kemudian diwariskan ke anak-anak mereka, didikan keluarga yang sama seperti yang mereka sendiri telah terima. Banyak dari sepupu dan saudara-sau ara lelaki saya yang lebih tua lulus dari Sekolah-Hoogere Burger, institusi tertinggi yang kami miliki di Hindia; dan anak bungsu dari tiga saudara lelaki saya yang lebih tua telah belajar selama tiga tahun di Belanda, dua lainnya bahkan telah bekerja di negara itu. Kami, anak perempuan, terbelenggu oleh tradisi dan konvensi kuno. Adalah kejahatan besar terhadap adat di tanah kami jika kami harus di didik, dan terutama jika harus meninggalkan rumah setiap hari untuk pergi ke sekolah. Karena kebiasaan negara kami yang sangat kuat melarang gadis untuk keluar rumah. Kami tidak pernah diperb olehkan pergi kemana saja. Satu-satunya tempat pengajaran yang dibanggakan oleh kota kami, yang ter buka bagi kami, adalah sekolah dasar gratis bagi gadis-gadis Eropa.”

Baca Juga: Antisipasi Arus Mudik, Berikut Skenario Rekayasa Lalu Lintas Lebaran 2022

“Ketika saya mencapai usia dua belas tahun, saya ditahan di rumah – saya berada di dalam “kotak”, dikurung, terputus dari semua komunikasi dengan dunia luar, di samping calon suami – orang sing lelaki yang tidak dikenal yang dipilih oleh orangtua saya untuk saya – lelaki yang ditunangkan kepada saya tanpa sepengetahuan saya. Teman-teman Eropa, ini saya dengar kemudian –telah berusaha dengan segala cara yang mungkin untuk menghalangi orang tua saya agar tidak melakukan hal kejam itu terhadap saya, seorang gadis muda yang mencintai kehidupan, tetapi mereka tidak mampu melakukan apa-apa. Orangtua saya tak bisa ditawar. Saya harus masuk penjara. Di sana, empat tahun lamanya, saya habiskan di antara dinding- dinding tebal, tanpa pernah melihat dunia luar.”

Halaman:

Editor: Bunga Angeli

Sumber: academia.edu


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah