Pelajar Bengkulu Hina Palestina di Medsos Minta Maaf

- 20 Mei 2021, 11:15 WIB
MS didampingi orang tua usai mediasi bersama para pihak di Polres Bengkulu Tengah di Bengkulu terkait ucapan kebencian terhadap Palestina, pada Rabu, 19 Mei 2021.
MS didampingi orang tua usai mediasi bersama para pihak di Polres Bengkulu Tengah di Bengkulu terkait ucapan kebencian terhadap Palestina, pada Rabu, 19 Mei 2021. /ANTARA/Anggi Mayasari.

KABARMEGAPOLITAN.COM - Akibat ulahnya menyebar ujaran kebencian melalui media sosial, seorang oelajar asal Bengkulu terpaksa dikeluarkan dari sekolah.

Sebelumnya viral di media sosial video seorang pelajar berinisial MS (19) yang menghina Palestina serta menyebarkan ujaran kebencian di media sosial TikTok-nya.

Diketahui siswi SMA tersebut juga merupakan pelajar kelas II SMA di Kabupaten Bengkulu Tengah Provinsi Bengkulu. Sehingga akibat perbuatannya tersebut dia dikeluarkan dari sekolahnya.

"Keputusan ini diambil setelah pihak sekolah mengevaluasi tata tertib sekolah dan pelanggaran MS dan hasilnya yang bersangkutan sudah melampaui ketentuan," kata Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Bengkulu Tengah, Adang Parlindungan di Bengkulu, pada hari Rabu.

Baca Juga: Wow! Sejak Orok, Kelelawar Sudah Mengenal Kecepatan Suara

Dia mengatakan keputusan itu merupakan jalan keluar yang sudah disepakati bersama antara pihak sekolah, orangtua MS dan sejumlah pihak terkait yang dimediasi kepolisian dan sejumlah tokoh masyarakat.

Selain itu dia menambahkan bahwa berdasarkan hasil rapat internal yang telah dilakukan oleh Dinas Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dengan pihak sekolah, pelajar tersebut dikembalikan ke orang tuanya untuk dibina.

Kemudian MS juga sudah membuat permohonan permintaan maaf yang disampaikan secara terbuka dan disebarluaskan lewat media sosial miliknya.

Dari keputusan rapat yang dihadiri oleh Kapolres Benteng, Waka Polres Benteng, Kasat Intel Polres Benteng, Kasat Reskrim Polres Benteng, Kepala Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Benteng, kepala sekolah, ketua komite, FKUB, Badan Kesbangpol Benteng, Kemenag Benteng, Komisi I DPRD Benteng tersebut disepakati kasus MS dinyatakan selesai.

Sebelumnya MS membuat rekaman ujaran kebencian terhadap Palestina yang saat ini sedang berkonflik dengan Israel. Dalam unggahan berdurasi 8 detik yang sudah dihapus oleh TikTok itu MS merekam dirinya menyuarakan hujatan terhadap Palestina.

Baca Juga: 1.500 Unit Rumah KPR Subsidi Untuk PNS Papua Barat Siap Dibangun

Dalam rapat bersama para pihak itu MS juga telah menyampaikan permintaan maaf dan menyatakan tindakannya itu adalah spontan sebagai bentuk keisengan dengan tujuan mengikuti tren bermedia sosial dan dia tidak menyangka akan berbuntut panjang.

"Saya minta maaf atas perbuatan saya, baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga Indonesia. Saya hanya iseng dan bercandaan saja bukan maksud berbuat apa-apa dan saya juga tidak menyangka bisa seramai ini," ujarnya.

Tindakan sekolah yang memutuskan mengeluarkan MS mendapat sorotan dari aktivis perlindungan perempuan dan anak. Direktur Pusat Pendidikan Perempuan dan Anak (PUPA) Susi Handayani mengatakan mengeluarkan MS dari sekolah adalah bentuk penghukuman yang seharusnya tidak lagi diberikan kepada anak sesuai dengan UU nomor 35 tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

"Pertama kita semua mengakui apa yang dilakukan anak itu salah tapi yang diberikan seharusnya sanksi yang berdampak baik bagi anak, bukan hukuman. Karena semangat UU Perlindungan Anak tidak ada lagi hukuman bagi anak," kata Susi.

Baca Juga: PPPK 2021 dibuka Akhir Mei, Berikut Panduan Pendaftarannya

Bentuk sanksi yang dapat diberikan kepada anak itu menurut Susi antara lain membuat konten pendidikan di media sosial yang dia gunakan dalam durasi tertentu sehingga bentuk sanksi itu mencerahkan bagi dirinya dan pubik.

Dia juga menilai, kebijakan mengeluarkan anak dari sekolah adalah pola penghukuman karena mengacu pada poin-poin pelanggaran tata tertib sekolah dan hukumannya adalah dikeluarkan dari sekolah dimana seharusnya pola ini tidak diterapkan lagi dalam sistem pendidikan yang memerdekakan.

Selain itu menurut Susi, dalam mediasi dengan berbagai pihak yang digelar beberapa hari lalu, MS seharusnya juga memiliki pendamping karena dalam posisi hanya didampingi orangtua maka posisi MS sangat lemah dan hanya menerima semua keputusan yang ditimpakan padanya.

"Saat anak dihadirkan dalam proses mediasi seharusnya didampingi karena dia dihadirkan sebagai orang yagn bersalah tentu ada tekanan psikologis. Maka semua hal dia terima karena posisinya lemah," ujarnya.***

Editor: Yuliansyah

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah